Assalamu'alaikum

Sabtu, 11 Mei 2013

SOFWARE ISLAMI

ALQuran_KARIM_Flash                                                                     

Selasa, 29 Januari 2013

Aysha, Gadis Mualaf yang Berjuang Sendiri

Aysha, Gadis Mualaf yang Berjuang Sendiri



Jum'at, 12 Ma ret 2010

Nama saya Aysha, asal dari Hungaria wilayah utara. Saya telah mendengar tentang Islam sejak di bangku sekolah dasar dalam pelajaran sejarah, karena Hungaria pernah dibawah kekuasaan Turki selama 150 tahun.

Saya melanjutkan pelajaran hingga universitas, dalam bidang biologi molekular, di mana saya bertemu dengan banyak mahasiswa asing Muslim.

Saya selalu penasaran, mengapa orang-orang Islam selalu bangga sebagai Muslim.

Saya dulu seorang penganut Katolik yang baik. Tapi, saya selalu ragu dan tidak setuju dengan beberapa bagian dalam agama saya. Contohnya, mengapa tuhan memiliki putra dan konsep trinitas juga tidak bisa dipercaya.

Kemudian saya mulai berbincang-bincang dengan teman-teman. Satu hari ketika kami sedang makan malam, terdengar azan. Salah seorang teman meminta saya untuk menghentikannya, tapi saya menolak. Ketika itu saya sangat tekesan, sesuatu yang sangat menyentuh hati.

Pada saat musim panas, entah kenapa saya mengunduh program Al-Quran. Saya mendengarkannya dalam bahasa Arab, dan membacanya dalam terjemahan bahasa Inggris. Saya mulai memikirkan tentang Islam dan membaca banyak buku tentangnya.

Setelah dua bulan berpikir, akhirnya saya memilih Islam. Saya mengucapkan dua kalimat syahadat disaksikan dua orang teman.

Saya memilih Islam, yang bertentangan dengan budaya dan keluarga, khususnya ibu.

Saya mulai melaksanaan shalat lima waktu. Awalnya sangat sulit, karena orang-orang di sekitar saya bukanlah Muslim, jadi saya tidak bisa bertanya.

Saya belajar sendiri cara shalat melalui internet. Tidak ada orang yang mengajari saya bagaimana caranya wudhu, niat, mandi besar dan apa saja etika yang ditetapkan dalam Islam.

Suatu kali saya bertanya pada seorang teman dan dia justru membuat saya patah semangat. Katanya, saya tidak akan pernah memahami Islam karena tidak terlahir sebagai seorang Muslim. Ketika saya katakan padanya bahwa saya ingin puasa Ramadhan, dia bilang puasa hanyalah menahan lapar. Waktu itu saya baru masuk Islam satu bulan lamanya.

Pada saat itu saya jadi ketakutan, bagaimana jika saya tidak akan pernah bisa belajar shalat dalam bahasa Arab? Bagaimana jika saya tidak melakukannya dengan cara yang benar? Dan bagamana jika saya tidak memakai hijab atau sajadah. Tidak ada yang membantu saya, sehingga saya sangat ketakutan.

Tapi, ketika shalat saya selalu berpikir bahwa Allah pasti sedang tersenyum melihat saya. Saya menulis teks dan tata cara shalat di selembar kertas. Saya memegangnya dengan tangan kanan dan membacanya dengan keras, lalu membungkuk dan membacanya lagi, begitu seterusnya.

Saya yakin saya terlihat lucu saat itu. Tapi akhirnya saya berhasil mengingatnya dalam bahasa Arab, jadi sekarang bukan masalah lagi.

Saya lalu membuka Facebook dan mendapatkan banyak teman baru. Dari saudara-saudara perempuan di dunia maya saya mendapatkan banyak kasih sayang dan dukungan. Seorang Muslim laki-laki berkenalan dan darinya saya mendapatkan hijab pertama, sajadah dan buku Islam. Saya mendapatkan Al-Quran dari Yordania yang dikirim lewat pos, karena kami tidak bisa membelinya di sini. Sekarang, sudah satu tahun lebih saya mengenakan hijab.

Saya mengalami masa sulit dengan ibu. Ibu bilang saya akan menjadi teroris, meninggalkan beliau karena saya meninggalkan agamanya dan saya akan pergi ke luar negeri. Ia meletakkan makanan berbahan daging babi di kulkas, dan saya tidak mau memakannya sehingga terjadi pertengkaran besar.

Ibu tidak tahan melhat saya shalat dan mengenakan hijab, jadi saya shalat di kamar lantai atas. Ia tidak mau memandang jika saya mengenakan hijab dan berkata, "Aku melahirkan seorang anak Kristen, bukan Muslim berkerudung."

Kami sering memiliki masalah serius, tapi saya tidak pernah berbuat kasar terhadapnya. Alhamdulillah, sekarang ibu sudah lebih tenang dan mulai bisa menerima kepindahan agama saya. Saya sangat bersyukur kepada Allah. Sekarang, jika saya keluar mengenakan kerudung, ia tidak berkata apa-apa.

Selama ini saya tidak pernah bicara dengan ayah, dan ia tidak mau menemui saya. Tapi karena Islam, saya bisa menerimanya dengan lapang dada, sehingga beliau mengunjungi kami secara berkala.

Ya, hidup saya penuh dengan cobaan besar. Alhamdulillah saya diberi kesabaran dan harapan. Pada hari pembalasan, saya akan berterima kasih untuk itu. Jadi, saya berusaha untuk terus menjadi lebih baik dan lebih baik lagi. Belajar dan memahami lebih banyak tentang agama saya.

Saya yakin semuanya telah digariskan, jadi apa yang telah Allah tetapkan untuk saya, maka tidak akan berubah. Tapi saya bisa memilih untuk menjalani hidup ini dengan baik.

Sekarang saya berusaha membantu orang-orang di Debracen. Saya mengumpulkan pakaian bekas untuk para pengungsi. Di sana banyak orang Muslim tidak memiliki tempat tinggal akibat perang. Kami mengumpulkan pakaian dan membawanya ke sana. Saya membuat roti Pakistan untuk anak-anak dan para wanita. Mereka gembira, dan sangat menyenangkan bagi saya bisa melihat mereka.

Dulu saya sering meninggikan suara jika ada hal yang mengganggu saya. Tapi saya sekarang berusaha memberi contoh yang baik, kemana pun saya pergi.

Saya juga membantu mereka yang ingin memeluk Islam atau yang baru saja masuk Islam. Suatu hari saya bertemu dengan dua orang wanita Hungaria, mereka baru saja masuk Islam. Saya berikan mereka buku-buku, sajadah dan Al-Quran. Alhamdulillah, kami shalat bersama dan merasa sangat bahagia.

Saya selalu berusaha memberikan kesan bahwa orang-orang Islam menyenangkan, bersahabat dan kami memiliki hati yang baik.

Saya belajar bahasa Arab agar bisa membaca Al-Quran. Saya membaca Quran bahasa Hungaria, melaksanakan shalat lima waktu dan berusaha mengikuti ajaran Al-Quran dan sunnah. Saya juga membaca banyak buku agar lebih paham.

Sabtu, 12 Januari 2013

Merengkuh ‘Madu’ Setelah ‘Tersengat Tawon-nya

Merengkuh ‘Madu’ Setelah ‘Tersengat Tawon-nya



Sabtu, 09 April 2011


PAGI itu, udara terasa segar. Matahari terlihat tersenyum indah, menyapa penduduk bumi dengan sinarnya yang kemerah-merahan dari ufuk timur. Anginpun tak mau kalah. Sesekali ia berhembus, memanjakan siapa saja yang tengah menikmati udara pagi. Kicauan burung nan merdu, yang tengah beterbangan di angkasa, menjadi pesona tersendiri akan keindahan suasana pagi hari itu.

Dari jendela kamar, kulihat tak sedikit orang tersihir menyaksikan secuil Kemahabesaran Allah ini. Sepertinya, hati gadis yang tengah berbunga-bunga. Wajah-wajah kekebahagiaan, nampak jelas tersirat dari senyum yang memerkah dari kedua pipi mereka, seterang mentari yang tengah menunjukkan kedikdayaannya.

Namun itu tidak bagiku. Pagi itu kulalui dengan perasaan begitu berat. Sebabnya, aku masih terngiang-ngiang akan perkataan salah satu familiku dari ujung telepon, yang baru saja kuterima. Dan hal itu cukup mengganjal hati.

“Disuruh ngomong gitu saja tidak bisa! Ya sudah lah, percuma juga sekarang ribut-ribut,” ujarnya kala itu, dengan nada penuh emosi. Setelah berucap demikian, HP pun langsung dimatikan. Saya sebagai lawan bicara, tersentak kaget. Lidah menjadi kelu karenanya.

Sebelumnya, aku tidak pernah mendapatkan perlakuan demikian. Yang ada, justru beliau senantiasa membahagiakanku, ia masih membiayai seluruh keperluan pendidikkanku hingga aku lulus, tanpa dia meminta pamrih. Wajarlah, kalau dia menjadi sosok yang sangat kusegani.

Namun pagi itu, di pertengahan tahun 2007 silam, untuk pertama kalinya aku mendapat amarah. Dan itu bermuara dari ketidaksiapanku melakukan permintaannya; berkata bohong.

Ceritanya, adalah salah satu famili kami (perempuan) yang mencoba mencari keuntungan di negeri seberang, Arab Saudi, sebagai Tenaga Kerja Wanita (TKW). Awalnya, komunikasi antar kami sekeluarga dengan dia yang berada nun jauh di sana, lancar-lancar saja.

Namun, tidak lama berselang, tiba-tiba saudari kami tersebut berujar, “Jangan hubungi saya terus yah, soalnya majikkan saya suka marah, kalau melihat saya sering menggunakan HP,” begitu pesannya.



Awalnya, kami sekeluarga memaklumi permintaan tersebut. Akan tetapi, semuanya berubah menjadi kekhawatiran yang sangat, manakala kami senantiasa gagal untuk menghubungi dia. Padahal, sudah cukup lama kami putus komunikasi (berkisar 3-4 bulan dari permintaannya tempo hari itu). Tidak satu dua kali kami mencoba menelpon, tapi, hasilnya tetap saja nihil. Semua nomor yang dihubungi pada non-aktif.

Pernah suatu hari, terdengar jawaban dari seberang, ketika keluarga mencoba menelpon nomor majikkannya. Sayang, jawaban yang diterima tidak sesuai dengan yang diinginkan. Mereka bilang, kalau saudari kami tersebut tidak bekerja di sana. Dengan demikian, sudah barang tentu, kecemasan semakin memuncah, dan menghantui kami sekeluarga.

Tidak mau patah arang, pihak keluarga menemui orang yang menjadi wasilah keberangkatan saudari kami itu, tetapi, tetap saja membentur tembok tebal.

Singkat cerita, karena usaha-usaha selalu mentok, pihak keluarga memintaku (Yang memiliki sedikit bekal bahasa Arab) untuk mengubungi pihak majikan. Runyamnya, mereka memintaku untuk mengaku sebagai suami dari saudari kami tersebut.

Terus-terang, ketika mendapat mandat demikian, hatiku berkecamuk, antara menjalankan tugas sesuai dengan apa yang diperintahkan atau tidak. Bagiku pribadi, kejujuran adalah suatu prinsip yang harus dipegang-teguh. Sudah lama aku memupuk prinsip ini. Sebab itu, ketika diminta untuk melakukan kebohongan, batinku berontak. Akhirnya, akupun lebih memilih untuk mengikuti suara hati, dengan berkata jujur; bahwa aku adalah salah satu familinya (bukan sebagai suamisebagaimana yang di’dektekan’).

Pada malam hari yang telah ditentukan, akupun menelepon. Alhamdulillah ada jawaban dari seberang sana. Setelah aku menjelaskan maksud dan tujuanku, si-majikan pun menerangkan posisinya saat itu, kalau dia sedang berada di luar rumah, dan dia memintaku untuk menunggu sekejap. Dia berjanji, ketika sudah sampai rumah, dia akan menghubungi balik.

Untung tidak bisa diraih. Rupanya janji tinggallah janji. Orang tersebut tidak jua menghubungiku. Ketika dihubungi balik, HP-nya pun tidak pernah diangkat. Akhirnya, harapan untuk mampu bercakap-cakap dengan saudariku malam itu, pun pupus jua.

Keesokan harinya, seusai sholat shubuh, salah satu sahabatku berlari-lari kecil menuju arahku, dan menyampaikan kalau ada telepon dari keluarga. Mendengar demikian, akupun sempat ‘kikuk’ barang sesaat, memikirkan bagaimana menjelaskan hasil yang saya peroleh semalam, sekiranya mereka menanyakan hal tersebut. Sejurus kemudian, dengan tekat bulat dan diiringi do’a, dan tentunya dengan menyiapkan mental juga, aku putuskan untuk berterusterang dengan apa yang telah aku lakukan.

Mendengar penjelasanku, sosok yang selama ini kujadikan “pahlawan” hidupku itu, langsung naik pitam. Kemarahannya memuncah. Hasilnya, nada-nada kasar penuh emosi –yang dulunya tidak pernah aku dapatkan- pun meluncur deras dari bibirnya, menghujam hatiku.

Aku hanya bisa diam……diam…..dan diam. Pikirku, percuma juga membela diri, dia tetap tidak akan terima, meskipun diutarakan seribu alasan.

Sejak peristiwa itu terjadi, hampir setiap saat, terutama ketika sedang bersujud (sholat) kepada-Nya, aku senantiasa berdo’a agar Allah melapangkan urusan kami ini.

Allah maha mendengar bagi hamba-hambanya yang yang tulus bermunajat. Persis keesokkan harinya, setelah peristiwa ‘naas’ tersebut, nada dering pesan HP berbunyi. Setelah saya lihat, terpampang nama ‘Aziz’ (nama samaran untuk saudaraku yang mendampratku). Setelah kubuka SMS-nya, subhanallah, keajaiban telah terjadi. Saudaraku itu meminta maaf dengan sangat, atas apa yang telah diucapkannya. Tersirat dari tulisan SMS-nya penyesalan yang mendalam. Dan yang lebih penting lagi, dia memberitahu, kalau saudari kami yang selama ini kami nanti-nantikan kabarnya, telah menelpon, dan memberi kabar, kalau dia baik-baik saja.
Seusai membaca SMS tersebut, hatiku riang tak terkira. Tanpa kusadari, cairan-cairan bening mengalir membasahi pipi. Aku menangis, menangis bahagia.

Selanjutnya, aku pun langsung bersimpuh di hadapan-Nya, bersujud syukur, mensyukuri karunia-karunia yang begitu besar, diantaranya; mengabulkan do’a kami agar mampu mengetahui keberadaan saudari kami yang telah lama kami cari, serta telah menyelamatkanku dari fitnah bohong.

Dan yang menakjubkan, sekaligus mempertebal keyakinanku, kalau semua yang terjadi atas pertolongan Allah semata, yaitu ketika saudari kami tersebut pulang ke tanah air, dan menjelaskan bahwa majikannya sama sekali tidak pernah menyuruh dia menghubungi pihak keluarga di Indonesia. Atas inisiatifnya sendirilah, yang didasari rasa kangen yang begitu besar, sehingga dia menelpon.

Yaaa Allah, Engkaulah Pemutar Balik hati, serta yang membisikkan ke hati saudari kami suatu bisikkan, sehingga dia menghubungi kami, tepat pada waktu yang kami butuhkan. Dan Engkau pun telah menyelamatkanku dari fitnah bohong ini.

Ibaratnya, diriku telah merengkuh ‘madu’ setelah ‘tersengat tawonnya’*

Sebagaimana yang diceritakan oleh Sakim, guru salah satu sekolah Islam di Jawa Timur

Sabtu, 05 Januari 2013

Saudara Ipar Pembawa Kematian!

Saudara Ipar Pembawa Kematian!



AHAD 06 JANUARI 2013
SUATU ketika Khalid terlihat sedih dan galau di meja kerjanya. Melihat keadaan itu, rekannya menghampiri dan berkata, “Khalid, kita kan sudah seperti saudara kandung sebelum menjadi rekan kerja di tempat ini. Sudah hampir seminggu aku melihatmu murung dan memikirkan sesuatu yang berat. Sebenarnya ada apa Khalid?”

Khalid terdiam beberapa saat, kemudian mengatakan, “Terima kasih Saleh atas perhatianmu. Saat ini aku benar-benar membutuhkan seseorang untuk memecahkan masalahku.”

Khalid lalu menuangkan secangkir teh untuk Saleh.

“Seperti yang kamu ketahui, aku telah menikah hampir delapan bulan dan di rumah hanya ada istri saya. Tetapi masalahnya adalah bahwa adik saya, Hamad yang sekarang berumur dua puluh tahun telah menyelesaikan pendidikannya di SMA dan diterima di salah satu universitas yang berada di kota ini. Dia akan datang ke sini seminggu atau dua minggu lagi untuk memulai studinya.

Alkisah, kedua orangtua Khalid memaksa agar Hamad tinggal di rumah Khalid daripada tinggal dengan teman-temannya di sebuah apartemen, karena takut terjadi hal-hal yang menyimpang.

Rupanya, Khalid menolak permintaan kedua orangtuaku itu. Sebab baginya kehadiran seorang pemuda di rumahnya sangat berbahya.

“Kita sama-sama tahu dan sama-sama merasakan masa muda dulu sewaktu belum menikah, bagaimana gejolak nafsu seorang pemuda terhadap lawan jenisnya. Jika perusahaan memberikan jam lembur atau menugaskanku ke luar kota, tentu aku pulang terlambat atau bahkan tidak pulang ke rumah untuk beberapa hari. Pada saat itu, yang tinggal di rumah hanya istri dan adikku saja. Jujur aku katakan, aku pernah berkonsultasi dengan salah seorang ulama, dan dia melarangku untuk mengizinkan lelaki manapun tinggal serumah dengan kami sekalipun saudara kandungku sendiri,” ujarnya.

Kala itu, sang Syekh menyitir sabda Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang berbunyi,

“Saudara ipar adalah (pembawa) kematian.” Seorang suami sudah pasti ingin beristirahat dengan nyaman bersama istrinya di rumah. Namun hal ini tidak dapat dicapai jika Hamad tinggal di rumah kami.”

Khalid kembali diam sambil meminum teh yang dibuatnya.

“Aku sudah menjelaskan kepada ayah dan ibu perihal ini berkali-kali disertai dalil dan logika yang kuat, dan aku bersumpah kepada mereka demi Allah Yang Mahakuasa bahwa aku sangat mengharapkan kebaikan bagi saudaraku Hamad. Sayangnya, ayah dan ibu menuduhku sebagai orang yang sakit hati, mereka mengatakan bahwa tidak mungkin Hamad mengganggu istriku karena dia telah mengganggapnya seperti kakak kandung sendiri. Lebih parah lagi ayah mengancamku jika aku tidak menerima permintaaannya, maka ayah dan ibu tidak mau mengenaliku lagi sampai mereka meninggal dunia.”

Khalid kembali terdiam. Ia menjadi serba salah atas situasi ini. “Menurutmu, apa solusi terbaik dari masalahku ini Saleh?”

“Aku tidak bermaksud mengajarimu atau pun mencampuri urusan keluargamu. Aku melihat dirimu adalah seorang paranoid dan skeptis; kalau tidak demikian, mengapa kamu menentang pendapat kedua orangtuamu? Lupakah kamu bahwa keridhaan Allah tergantung kepada keridhaan kedua orangtua, dan kemurkaan Allah juga tergantung kepada kemurkaan kedua orangtua seperti yang disebutkan dalam hadits Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam? Kenapa kamu berburuk sangka kepada saudaramu? Bukankah jika dia berada di rumah dapat membantu pekerjaanmu? Apakah kamu lupa dengan firman Allah Ta’ala yang berbunyi, “Wahai orang-orang yang beriman! Jauhilah banyak dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa.” (QS. Al-Hujuraat: 12). Katakan sejujurnya Khalid, “Apakah kamu percaya kepada istrimu dan saudaramu?”

“Aku percaya kepada istri dan saudaraku, tapi….”

“Tapi apa Khalid? Kamu ragu kepada mereka? Yakinlah bahwa saudaramu Hamad akan membantumu dan istrimu dalam keperluan rumah tangga, tidak mungkin dia mengganggu istrimu karena dia mengganggapnya sebagai kakak kandungnya. Sekarang aku tanya, jika Hamad telah menikah apakah kamu mau mengganggu istrinya? Tentu tidak bukan?

Buanglah semua was-was dan praduga terhadap saudaramu itu, karena was-was berasal dari setan yang terkutuk. Aku sarankan kamu menempatkan Hamad di kamar depan, kemudian kamu membuat pintu yang memisahkan kamarnya dengan ruangan belakang dan kamarmu, sehingga kamu tetap nyaman ketika beristirahat,” kata Saleh.

Tampaknya Khalid kalah argumentasi dengan Saleh, tak ada pilihan lain selain menerima saran rekannya itu. Beberapa hari kemudian, Khalid menjemput adiknya ke bandara dan membawanya ke rumah. Seperti yang disarankan Saleh, Hamad tidur di kamar depan.

Hari demi hari pun berlalu. Khalid, istrinya dan Hamad hidup bahagia tanpa banyak kendala yang mereka hadapi. Tak terasa sudah empat tahun Hamad tinggal bersama Khalid. Tak terasa pula Khalid telah berusia tiga puluh tahun dan telah dikaruniai tiga anak. Hamad pun hampir lulus kuliah. Khalid berjanji akan mencarikan pekerjaan yang cocok bagi adiknya dan tetap tinggal bersamanya di rumah sampai menikah dan pindah bersama istrinya ke rumah baru.

Cobaan Di Malam Hari


Suatu malam, ketika Khalid mengendarai mobilnya dalam perjalanan pulang, di salah satu jalan dia melihat samar-samar dua bayangan. Setelah mendekat ternyata ada seorang ibu tua dengan wanita muda yang tergeletak di tanah menjerit-jerit, sedangkan ibu itu berteriak minta tolong. Khalid pun menanyakan keadaan mereka berdua. Ternyata mereka mereka bukan penduduk kota ini dan baru tinggal satu minggu di sini. Wanita itu adalah putrinya yang ditinggal suami untuk keperluan pekerjaan di luar kota. Dia terlihat meringis kesakitan memegang perutnya karena rasa sakit melahirkan. Tangisan ibu tua dan jeritan wanita muda itu membuat Khalid kasihan kepada mereka. Tanpa pikir panjang, Khalid pun membawa keduanya ke rumah sakit terdekat. Sesampainya di rumah sakit, para dokter memutuskan untuk melakukan operasi caesar kepada wanita itu karena tidak mungkin melahirkan dengan normal.

Khalid tidak langsung meninggalkan rumah sakit sampai memastikan keadaan wanita muda itu dengan janin yang dikandungnya. Dia memutuskan untuk duduk di ruang tunggu dan meminta ibu tua itu untuk mengabarkan jika cucunya telah lahir. Setelah itu Khalid menelpon istrinya dan mengatakan bahwa dia terlambat pulang karena ada sedikit keperluan dan akan kembali segera.

Selang beberapa jam dia terbangun karena mendengar suara keras dari dokter dan dua orang polisi yang mendekatinya. Tak disangka ibu tua yang diantarnya ke rumah sakit itu mengacung-acungkan jari telunjuk ke arahnya sambil berteriak, “Itu orangnya, itu orangnya.”

Khalid terkejut dan heran. Dia langsung berdiri dan berjalan ke arah ibu itu sembari bertanya, “Apakah persalinan putri ibu berjalan lancar?”

Sebelum pertanyaannya dijawab, dua orang polisi mendekatinya dan bertanya, “Apakah anda yang bernama Khalid?”

“Ya” jawabnya.

“Kami minta waktu lima menit di ruangan direktur rumah sakit sekarang,” kata salah seorang polisi.

Meskipun keheranan masih meliputi dirinya, Khalid tetap mengikuti perintah polisi tersebut. Setelah semua orang masuk ruangan direktur rumah sakit, dan pintunya ditutup, tiba-tiba ibu tua itu menjerit sambil memukul wajahnya dan mengaca-acak rambutnya sendiri sambil mengatakan, “Inilah pelakunya pak polisi. Jangan biarkan penjahat ini berkeliaran. Oh, anakku, betapa malang nasibmu.”

Khalid masih bingung dan tidak mengerti apa yang tengah terjadi. Dia baru mengetahuinya ketika salah seorang petugas mengatakan.

“Menurut ibu ini, kamu telah memperkosa putrinya dan hamil di luar nikah. Ketika dia mengancam akan melaporkanmu ke pihak kepolisian, kamu pun berjanji untuk menikahinya. Namun setelah dia melahirkan kamu meletakkan anaknya di pintu sebuah masjid agar diambil oleh orang-orang baik dan dititipkan di panti sosial.”

Khalid terkejut mendengar ucapan petugas itu, pandangannya menjadi gelap, lidahnya kelu, dan akhirnya dia jatuh pingsan.

Tak lama kemudian Khalid pun sadar. Dia melihat dua orang petugas polisi bersamanya di dalam sebuah ruangan. Salah seorang petugas langsung menanyainya, “Khalid, tolong ceritakan perihal yang sebenarnya. Saya melihat Anda sebagai orang yang terhormat dan penampilan Anda menunjukkan bahwa diri Anda tidak pernah melakukan perbuatan keji yang dituduhkan ibu tua itu.”

“Wahai manusia, apakah ini balasan dari perbuatan baik? Aku orang bukan orang suci, tapi aku orang yang menjaga diri dari perzinaan. Aku telah menikah dan mempunyai tiga anak; Sami, Saud dan Hanadi, dan aku tinggal di lingkungan yang terkenal bersih dari maksiat.”

Khalid tidak bisa mengendalikan dirinya. Tanpa disadari air mata mengalir deras membasahi pipinya. Setelah tenang, dia menceritakan kronologi pertemuannya dengan dua wanita itu sampai dia tertidur pulas di ruang tunggu rumah sakit. Setelah mendengarkan ceritanya, petugas itu berujar, “Bersabarlah Khalid, saya yakin Anda tidak bersalah, tetapi masalah ini harus diselesaikan sesuai dengan prosedur yang berlaku. Kita akan melakukan beberapa tes medis untuk mengetahui fakta yang sebenarnya.”
“Fakta apa? Aku tidak bersalah dan tidak pernah melakukan perbuatan bejat itu. Mohon maaf kalau saya kasar, anjing saja mau tunduk kepada manusia yang berbuat baik kepadanya, namun banyak manusia yang tidak tahu terima kasih malah membalas kebaikan orang lain dengan kejahatan.”

Kebenaran Pun Terungkap


Keesokan harinya, Khalid datang ke rumah sakit untuk diambil sampel spermanya dan diperiksa di laboratorium guna memastikan keterlibatan Khalid dalam kejahatan yang dituduhkan ibu tua kepada dirinya. Sementara itu, Khalid dan petugas polisi duduk di ruangan lain. Khalid tidak putus-putusnya berdoa kepada Allah agar Dia mengungkapkan kebenaran sejelas-jelasnya.

Setelah hampir dua jam hasil pemeriksaan medis diberitahukan kepada Khalid dan dia dinyatakan bebas dari semua tuduhan. Demi mendengar hal tersebut Khalid pun bersujud syukur kepada Allah atas nikmat agung ini. Dia juga meminta meminta maaf kepada petugas polisi atas kata-kata kasar yang diucapkannya. Sementara itu, ibu tua dan putrinya dibawa ke kantor polisi untuk penyelidikan lebih lanjut.

Sebelum meninggalkan rumah sakit, Khalid berpamitan kepada dokter spesialis yang melakukan pemeriksaan medis tersebut.

“Saya merasa mulia atas kedatangan Anda ke sini, tetapi ada satu hal yang ingin saya sampaikan dan saya minta waktu Anda beberapa menit saja.”

Awalnya dokter itu bingung harus bagaimana membicarakannya, namun dia memberanikan diri untuk angkat bicara.

“Tuan Khalid, melalui tes yang dilakukan, saya menduga bahwa Anda mengidap sebuah penyakit, tapi aku tidak terlalu yakin, jadi aku ingin melakukan tes medis lainnya kepada istri dan anak-anak Anda untuk menghilangkan keraguan ini. Apakah Anda bersedia?”
Rasa takut mulai menyelimuti Khalid, “Dokter, aku mohon katakan penyakit apa yang aku alami. Sungguh aku sangat rela dengan keputusan Allah, tapi yang penting bagiku adalah anak-anak. Aku siap berkorban apa saja untuk mereka,” kata Khalid sambil menangis tersedu-sedu. Dokter itu menenangkan dan menghibur hatinya, “Saya benar-benar tidak bisa mengatakannya kepada anda sekarang, bisa jadi kecurigaan saya itu salah. Tapi saya mohon Anda segera membawa istri dan anak Anda ke sini.”

Beberapa jam kemudian, Khalid membawa istri dan anak-anaknya ke rumah sakit untuk melakukan tes medis seperti yang dikatakan dokter. Setelah selesai, istri dan anak-anaknya diminta menunggu di mobil sedangkan Khalid kembali ke ruangan dokter. Baru saja berbicara dengan dokter, telepon genggam Khalid berdering. Dia menjawabnya, lalu berbicara beberapa menit, kemudian menutup teleponnya.

Sebelum melanjutkan pembicaraan, dokter bertanya; “Siapa yang baru saja menelepon Anda dan Anda suruh untuk mendobrak pintu rumah?”

“Oh, dia saudara, Hamad yang tinggal satu rumah dengan kami sekeluarga. Dia menghilangkan kuncinya, jadi terpaksa pintunya didobrak saja.”

“Sudah berapa lama dia tinggal bersama Anda?”

“Semenjak empat tahun yang lalu dan sekarang studinya sudah tahun terakhir.”

“Bisakah Anda membawanya ke sini untuk melakukan tes supaya dapat dipastikanapakah penyakit tersebut penyakit keturunan atau tidak?”

“Dengan senang hati kami akan datang besok pagi ke sini,” jawab Khalid.

Keesokan harinya, Khalid bersama saudaranya, Hamad pergi ke rumah sakit untuk melakukan tes medis dan diagnosa penyakit. Dokter meminta Khalid datang seminggu lagi untuk mengetahui hasilnya.

Selama satu minggu menunggu hati Khalid tidak tenang dan dia susah tidur. Akhirnya, pada hari yang telah ditentukan, dia datang ke rumah sakit. Dokter menyambut dengan senang hati sambil menyuguhkan secangkir lemon untuk menenangkan hatinya. Dokter itu membuka pembicaraan dengan anjuran untuk bersikap sabar dalam menghadapi musibah dunia, dan semua hal yang berkaitan dengannya. Namun, Khalid sudah tidak sabar, dia memotong pembicaraan,

“Dokter, saya mohon jangan menakut-nakutiku seperti itu. Saya siap menanggung penyakit apapun karena semuanya adalah keputusan Allah, apa sebenarnya penyakitku dokter?” tanya Khalid harap-harap cemas.

Dokter menundukkan kepalanya sebentar, lalu berkata, “Dalam banyak kasus, kebenaran itu pahit dan menyakitkan, meski demikian ia harus diketahui dan dihadapi dengan lapang dada. Lari dari diri masalah tidak akan menyelesaikan masalah dan tidak akan mengubah kenyataan.”

Dokter kembali diam beberapa saat, sementara jantung Khalid semakin berdegup kencang. Dokter itu lalu angkat bicara, “Khalid, Anda mandul dan tidak dapat mempunyai keturunan. Ketiga anak tersebut bukanlah anak anda, mereka adalah anak saudaramu, Hamad.”

Khalid tidak sanggup mendengar kabar mengejutkan ini. Dia menangis sejadi-jadinya sampai terdengar di seluruh ruangan rumah sakit, kemudian dia jatuh pingsan.

Setelah dua minggu mengalami koma, Khalid pun sadarkan diri. Dia divonis stroke dan mengalami lumpuh di separuh tubuhnya. Otaknya pun tidak dapat berfungsi dengan normal, dia gila karena shock yang begitu berat. Akhirnya, dia dipindahkan ke rumah sakit jiwa dan tinggal di sana untuk menghabiskan hari-harinya. Sementara itu, istrinya dibawa ke Mahkamah Syariah untuk diinterogasi dan diberlakukan hukum rajam padanya. Saudaranya, Hamad tengah berada di balik jeruji besi menunggu hukuman yang pantas untuknya. Adapun ketiga anaknya diserahkan ke panti asuhan dan hidup bersama anak pungut dan anak yatim di kotanya.

Sungguh benar apa yang disabdakan Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, “Saudara ipar adalah (pembawa) kematian.” Itulah sunnatullah (ketentuan Allah), “Maka kamu tidak akan mendapatkan perubahan bagi Allah, dan tidak (pula) akan menemui penyimpangan bagi ketentuan Allah itu.” (QS. Faathir: 43)

Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Uqbah bin Amir Radhiyallahu Anhu, disebutkan bahwasanya Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, “Hindarkanlah diri kalian untuk menemui wanita!” Lalu ada seorang lelaki dari kaum Anshar bertanya, “Wahai Rasulullah, apa pendapatmu tentang saudara ipar?” Beliau bersabda, “Saudara ipar adalah (pembawa) kematian.” (HR. Al-Bukhari, Muslim, Ahmad dan At-Tirmidzi)

Ath-Thabari menafsirkan, “Maksudnya adalah perbuatan seorang lelaki yang berduaan dengan istri saudaranya sama dengan sesuatu yang menyebabkan kematian; sebab orang-orang Arab menyerupakan sesuatu yang ditakuti dengan kematian.”

Ibnul Arabi berpendapat, “Kata ‘kematian’ adalah kata yang biasa diungkapkan oleh orang-orang arab seperti ‘Singa pembawa kematian’ artinya jika seseorang bertemu dengan singa maka bisa membuatnya mati dimakan singa.” Al-Qurtubi menambahkan, “Jika seorang lelaki berduaan dengan istri saudaranya maka hal itu dapat menyebabkan ‘kematian’ agama bagi istri saudaranya, bisa jadi dia ditalak suaminya, atau bahkan dirajam jika melakukan perzinaan.”*

Kisah ini disarikan dari kumpulan kisah nyata dalam kitab "Qashash Mu`ats-tsirah Lisy-Syabab" karya Ahmad Salim Baduwailan. Diterjemah oleh Yum Roni Askosendra.





More Sharing ServicesShShare on printare|

Senin, 24 Desember 2012

“Modalku Cuma Husnuzhan dan Tawakal”



Selasa 25 Desember 2012


REZEKI, jodoh dan kematian semuanya itu rahasia Allah. Tidak ada satu pun manusia yang mengetahuinya, apalagi memprediksikan. Begitulah yang dialami Farida Aryani. Sejak 2000 silam, ibu yang dikaruniai tiga anak ini menderita penyakit kanker tiroid dan divonis tidak berumur panjang.

Namun, Sang Khalik berkata lain, hingga saat ini wanita yang biasa disapa Ida ini masih hidup normal, walaupun harus mengonsumsi obat-obatan dalam jumlah banyak.

Ida mengisahkan, kanker tiroid itu bermula dari benjolan kecil di bagian lehernya. Ida tidak terlalu mempermasalahkan, tapi lama-kelamaan benjolan itu menjadi besar dan terasa sakit. Setelah memeriksakan kepada seorang dokter di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), Jakarta, tempatnya bekerja sebagai perawat, Ida divonis positif mengidap kanker tiroid. Bagai petir di siang bolong, mendengar perkataan dokter tersebut, Ida lemas dan merasa takut aktivitasnya bakal berjalan tidak normal.

"Saya down dan selalu menangis,” kata Farida ketika ditemui Hidayatullah di rumahnya, daerah Cilebut, Bogor, Jawa Barat pertengahan November lalu.

Kesedihan Ida bertambah ketika salah satu teman dokternya ada yang mengatakan, usia Ida tidak lebih dari 5 bulan lagi. Namun, berkat dorongan dari orangtua, suami, saudara dan teman-temannya Ida mampu bangkit dari ketakutannya.

Agar virusnya tak menyebar ke bagian tubuh lainnya, tahun 2000 Ida mengambil keputusan untuk operasi pengangkatan tiroid.

“September 2000 saya operasi total. Ini dilakukan agar (kanker) tidak menyebar ke bagian tubuh lainnya,“ ujar putri dari pasangan Tatang Taryana dan Euis Cintasih ini.

Vonis Dokter

Sebagai perawat yang mengerti kesehatan, Ida tahu betul kalau operasi itu akan berdampak pada daya tahan tubuhnya. Bukan hanya itu, dokter yang mengoperasinya menganjurkan Ida agar tidak mempunyai anak. Kalaupun anak itu lahir kelak akan berdampak pada kesehatan dan perkembangan sang anak.

“Kekurangan kalsium akibat diangkatnya kelejar tiroid, maka janinnya akan cacat dan tulang-tulangnya akan lembek sehingga mudah patah,” kata Ida menirukan ucapan sang dokter.

Setelah 6 bulan pengangkatan tiroidnya, -untuk menopang kesembuhan dan menjaga agar tetap sehat- Ida diharuskan mengonsumsi obat dalam jumlah yang banyak. Jika dihitung-hitung, dalam sebulan wanita berusia 33 tahun itu bisa menghabiskan obat di atas 1.000 butir. Yang paling banyak adalah obat penambah kalsium.

Kondisi Ida saat ini juga tidak sesehat dulu, kini ia sering kejang. Tidak jarang, saat perjalanan di kereta api listrik dari Bogor menuju ke tempatnya bekerja di RSCM ia sering kejang. Tak ayal, di tahun pertama setelah operasi Ida mengaku sering merasa stres. Di saat kondisi payah itulah Ida selalu membaca beberapa surat pendek yang dihafalnya dan memperbanyak istighfar.

“Ibu dan almarhum ayah saya selalu menganjurkan agar memperbanyak baca al-Qur`an dan shalat sunnah. Ketika itu saya lakukan hati menjadi tentram, rasa sakit menjadi kurang,” kata wanita kelahiran 6 Februari 1978 ini mengenang masa-masa sulitnya.

Kanker tiroid yang bersemayam di tubuh Ida juga membuat dirinya sulit mengambil keputusan untuk menikah. Sebelumnya, ia memberikan pilihan pada calon suaminya, Ari Poncojati agar tidak menikahi dirinya. Ida tak menutup-nutupi apa yang ia alami kepada calon suaminya. Hal sekecil apa pun yang berhubungan dengan penyakitnya, ia beritahu pada calon pasangannya.

Namun, Ari, yang kini telah menjadi suaminya tetap bersikeras untuk memperistri Ida. Ari dengan lapang dada menerima keadaan calon istrinya apa adanya. Pria yang usianya tiga tahun lebih tua dari Ida itu siap menerima risiko apa pun yang terjadi.

"Sebagai manusia normal saya juga merasakan ketakutan, tapi, bismillah saja. Allah yang menentukan semuanya, istilah bahasa Jawanya, Allah boten sare (Allah tidak tidur, -red)," kata Ari.

Akhirnya, pada September 2003 mereka memutuskan untuk menghadap ke penghulu. Tidak sampai setahun pernikahan, Ida positif hamil. Mereka pun merasa was-was dengan kondisi sang jabang bayi. Syukurnya, Allah mempertemukan Ida dengan dokter yang selalu membesarkan hatinya.

Anak pertama pun lahir dengan selamat tanpa ada kelainan. Ida dan Ari tentu saja sumringah. Ucapan syukur tiada henti-hentinya mereka ucapkan.

"Waktu itu saya belum sempat memberi azan. Karena begitu lahir, dokter langsung mengecek semuanya. Alhamdulillah, baik-baik saja,” kata Ari, pria kelahiran 28 Agustus 1975.

Dengan bermodalkan selalu berprasangka baik dan tawakal kepada Allah, Ida merasa makin kuat menghadapi semua ujian yang dilaluinya. Dirinya mengaku selalu teringat sebuah ayat di dalam al-Qur`an yang menjelaskan bahwa cobaan itu diberikan Allah sesuai kemampuan hambanya.
Farida Aryani

“Modalku Cuma Husnuzhan dan Tawakal”

Sempat divonis dokter akan mati dalam waktu 5 bulan dan bila punya anak bakal cacat. Nyatanya masih hidup hingga sekarang dan anaknya juga normal.

Rejeki, jodoh dan kematian semuanya itu rahasia Allah. Tidak ada satu pun manusia yang mengetahuinya, apalagi memprediksikan. Begitulah yang dialami Farida Aryani. Sejak 2000 silam, ibu yang dikaruniai tiga anak ini menderita penyakit kanker tiroid dan divonis tidak berumur panjang.

Namun, Sang Khalik berkata lain, hingga saat ini wanita yang biasa disapa Ida ini masih hidup normal, walaupun harus mengonsumsi obat-obatan dalam jumlah banyak.

Ida mengisahkan, kanker tiroid itu bermula dari benjolan kecil di bagian lehernya. Ida tidak terlalu mempermasalahkan, tapi lama-kelamaan benjolan itu menjadi besar dan terasa sakit. Setelah memeriksakan kepada seorang dokter di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), Jakarta, tempatnya bekerja sebagai perawat, Ida divonis positif mengidap kanker tiroid.

Bagai petir di siang bolong, mendengar perkataan dokter tersebut, Ida lemas dan merasa takut aktivitasnya bakal berjalan tidak normal.

"Saya down dan selalu menangis,” kata Farida ketika ditemui Suara Hidayatullah di rumahnya, daerah Cilebut, Bogor, Jawa Barat pertengahan November lalu.

Kesedihan Ida bertambah ketika salah satu teman dokternya ada yang mengatakan, usia Ida tidak lebih dari 5 bulan lagi. Namun, berkat dorongan dari orangtua, suami, saudara dan teman-temannya Ida mampu bangkit dari ketakutannya.

Agar virusnya tak menyebar ke bagian tubuh lainnya, tahun 2000 Ida mengambil keputusan untuk operasi pengangkatan tiroid.

“September 2000 saya operasi total. Ini dilakukan agar (kanker) tidak menyebar ke bagian tubuh lainnya,“ ujar putri dari pasangan Tatang Taryana dan Euis Cintasih ini.

Vonis Dokter

Sebagai perawat yang mengerti kesehatan, Ida tahu betul kalau operasi itu akan berdampak pada daya tahan tubuhnya. Bukan hanya itu, dokter yang mengoperasinya menganjurkan Ida agar tidak mempunyai anak. Kalaupun anak itu lahir kelak akan berdampak pada kesehatan dan perkembangan sang anak.

“Kekurangan kalsium akibat diangkatnya kelejar tiroid, maka janinnya akan cacat dan tulang-tulangnya akan lembek sehingga mudah patah,” kata Ida menirukan ucapan sang dokter.

Setelah 6 bulan pengangkatan tiroidnya, -untuk menopang kesembuhan dan menjaga agar tetap sehat- Ida diharuskan mengonsumsi obat dalam jumlah yang banyak. Jika dihitung-hitung, dalam sebulan wanita berusia 33 tahun itu bisa menghabiskan obat di atas 1.000 butir. Yang paling banyak adalah obat penambah kalsium.

Kondisi Ida saat ini juga tidak sesehat dulu, kini ia sering kejang. Tidak jarang, saat perjalanan di kereta api listrik dari Bogor menuju ke tempatnya bekerja di RSCM ia sering kejang. Tak ayal, di tahun pertama setelah operasi Ida mengaku sering merasa stres. Di saat kondisi payah itulah Ida selalu membaca beberapa surat pendek yang dihafalnya dan memperbanyak istighfar.

“Ibu dan almarhum ayah saya selalu menganjurkan agar memperbanyak baca al-Qur`an dan shalat sunnah. Ketika itu saya lakukan hati menjadi tentram, rasa sakit menjadi kurang,” kata wanita kelahiran 6 Februari 1978 ini mengenang masa-masa sulitnya.

Kanker tiroid yang bersemayam di tubuh Ida juga membuat dirinya sulit mengambil keputusan untuk menikah. Sebelumnya, ia memberikan pilihan pada calon suaminya, Ari Poncojati agar tidak menikahi dirinya. Ida tak menutup-nutupi apa yang ia alami kepada calon suaminya. Hal sekecil apa pun yang berhubungan dengan penyakitnya, ia beritahu pada calon pasangannya.

Namun, Ari, yang kini telah menjadi suaminya tetap bersikeras untuk memperistri Ida. Ari dengan lapang dada menerima keadaan calon istrinya apa adanya. Pria yang usianya tiga tahun lebih tua dari Ida itu siap menerima risiko apa pun yang terjadi.

"Sebagai manusia normal saya juga merasakan ketakutan, tapi, bismillah saja. Allah yang menentukan semuanya, istilah bahasa Jawanya, Allah boten sare (Allah tidak tidur, -red)," kata Ari.

Akhirnya, pada September 2003 mereka memutuskan untuk menghadap ke penghulu. Tidak sampai setahun pernikahan, Ida positif hamil. Mereka pun merasa was-was dengan kondisi sang jabang bayi. Syukurnya, Allah mempertemukan Ida dengan dokter yang selalu membesarkan hatinya.

Anak pertama pun lahir dengan selamat tanpa ada kelainan. Ida dan Ari tentu saja sumringah. Ucapan syukur tiada henti-hentinya mereka ucapkan. "Waktu itu saya belum sempat memberi azan. Karena begitu lahir, dokter langsung mengecek semuanya. Alhamdulillah, baik-baik saja,” kata Ari, pria kelahiran 28 Agustus 1975.

Dengan bermodalkan selalu berprasangka baik dan tawakal kepada Allah, Ida merasa makin kuat menghadapi semua ujian yang dilaluinya. Dirinya mengaku selalu teringat sebuah ayat di dalam al-Qur`an yang menjelaskan bahwa cobaan itu diberikan Allah sesuai kemampuan hambanya.

Kini, Ida sudah mempunyai tiga orang anak perempuan yang lucu-lucu dan sehat: Bintang Nayla Rahma Putri (7 tahun), Bintang Aniqa Khalisa Putri (3 tahun), dan si bungsu Bintang Zhafirah Krisnaputri (4 bulan).

Khusus untuk anak bungsunya yang belum lama ini lahir, ada ‘tangan’ Allah di situ. Dokter telah memprediksi bahwa Zhafirah akan tumbuh cacat.

“Saat hamil kurang dari 6 bulan, anak saya yang ketiga ini diperkirakan bakal mempunyai ketebelakangan mental atau dikenal dengan down syndrome. Tapi, Allah berkendak lain, dia sehat saja,” ucap Ida dengan mantap. Ini bukti bahwa Allah mampu mengubah bila Dia menghendaki.

Prediksi dokter tersebut tentu berdasarkan data-data yang ada pada janin dan Ida saat itu. Berdasarkan data tersebut, ‘sunatullahnya’ anak Ida bakal cacat. Namun, Allah kemudian mengubah ‘sunatullah’ tersebut sehingga anak Ida tumbuh normal seperti sekarang. Subhanallah.

Di sisi lain, makin membaiknya kondisi Ida tak lain berkat dukungan suaminya yang tidak pernah putus asa menyemangati hidup Ida. Menurut Ida, dekat dengan Allah dan suami membuat dirinya bertambah kuat. “Suami selalu mengingatkan kalau saya malas minum obat, dia juga yang menyuruh saya untuk tidak lupa membawa obat ke tempat kerja,” katanya.

Ida juga mengonsumsi sejumlah obat-obatan herbal seperti kunyit putih di masa awal sakitnya. Setahun belakangan ini dia juga meminum habbatussauda atau jintan hitam.

“Tapi, untuk kalsium saya tetap mengonsumsi obat. Habis, saya tidak bisa tahan. Jika tidak minum itu jadi kejang-kejang,” pungkasnya.*



Minggu, 16 Desember 2012



Marinir Amerika yang Kembali Pada Fitrahnya



Senin 17 Desember 2012


Namaku Jacian Fares. Aku keturunan keluarga Al Fares dari Hebron. Ayahku dilahirkan di Libanon, sementara ibuku seorang wanita Spanyol. Aku merupakan generasi pertama keluargaku yang lahir di Amerika Serikat, tepatnya di kota Dearbon, negara bagian Michigan.

Ayahku tidak terlalu peduli dengan agama, meskipun kekek-kekekku merupakan penganut Islam yang taat. Maka tidak heran, jika aku dan saudara kandungku tumbuh berkembang tanpa mengenal agama tertentu. Kami dibesarkan sebagai anak Amerika, titik.

Aku dapat membayangkan, betapa ketidakpedulian ayahku itu dan jalan kehidupan yang dipilihnya telah membuat sedih hati kakek-kakekku.
DOWNLOAD FREE EBOOK
Percaya tidak percaya, di antara kami bertiga hanya aku yang pernah tinggal di Libanon selama 6 tahun, yaitu ketika aku masih remaja. Pengalaman tinggal di Libanon itu bisa dibilang sebagai persentuhan pertamaku dengan kebudayaan Timur Tengah.

Persentuhanku kedua dengan peradaban Timur Tengah terjadi saat aku berdinas sebagai anggota angkatan laut Amerika Serikat, sebagai seorang marinir. Aku ikut memimpin pasukan AS menginvasi Iraq, sebuah perang yang tidak aku setujui, tapi apa mau dikata karena aku hanya seorang prajurit.

Di Fallujah dan tempat-tempat lain di Provinsi Al Anbar, aku berusaha mengenal penduduk setempat. Aku memperhatikan bagaimana kebiasaan orang Arab selama bulan Ramadhan dari tahun ke tahun. Aku menyaksikan bagaimana mereka begitu taat dan patuhnya kepada agamanya.

Malang tidak dapat dihindari. Suatu saat aku tertembak di Iraq dan kehilangan satu dari dua ginjalku. Aku percaya itu kehendak Tuhan, karena aku yakin setiap kejadian pasti ada alasan di belakangnya.

Ketika pulang kembali ke Amerika Serikat, aku dalam keadaan sangat tertekan, depresi dan merasa hampa, tidak tahu apa yang harus dilakukan dalam hidup ini. Aku terbiasa memiliki rutinitas tertentu sebagai prajurit, dan kini semua itu lenyap. Hubungan sosialku pada saat itu dalam titik nadir. Aku kesepian.

Di tengah kegelisahan, kakek-kakekku dan bibi-bibiku menunjukkan jalan menuju Islam. Sepanjang tahun 2008 kerjaku hanya membaca al-Qur`an. Dan itu rasanya seperti langsung 'nyambung'.

Menurutku al-Qur`an sangat masuk akal, jauh lebih masuk akal ketimbang Bibel dan Torah. Qur`an sangat lugas, tidak bertele-tele. Kehidupan seorang Muslim ada rutinitasnya. Dan itu yang aku perlukan untuk mengubah hidupku, untuk menemukan jatidiri yang sejati.

Akhirnya, aku punya rutinitas. Aku punya alasan untuk menjalani hidup di dunia ini, untuk membuat hidupku lebih baik.

Bisa dibilang aku kemudian mendapatkan teman banyak, dari seluruh Timur Tengah, seperti dari Mesir, Palestina, Yordania dan Qatar. Dan teman-temanku itu yang membantuku menjadi aku seperti yang sekarang ini. Atas nikmat itu, aku sangat bersyukur.

Meskipun aku terdampar di Amerika ini sendirian, aku tidak kesepian. Orang-orang di komunitas Muslim selalu memperlakukanku sebagai anggota keluarga mereka.
DOWNLOAD FREE NASYID
Pada Ramadhan kedua (2009) aku tidak dapat berpuasa, disebabkan penyakit diabetes. Sebagai gantinya, aku bersedekah makanan, uang dan juga waktu untuk membantu orang-orang yang memerlukan selama 30 hari penuh. Akhir Ramadhan kedua itu sangat spesial, sebab tanggal 1 Syawal-nya bertepatan dengan hari kelahiranku.

Aku suka Ramadhan dan hikmah dibaliknya. Ramadhan mengingatkan kita agar selalu menjadi Muslim yang baik. Aku mengajak semua Muslim agar menjadikan kehidupan mereka setiap harinya seperti pada bulan Ramadhan.

Kita sebagai Muslim, dapat menjadikan dunia ini sebagai tempat tinggal yang lebih baik, tidak peduli seberapa buruk media memandang dan menggambarkan kita.

Muslim tidak perlu memaksa orang lain untuk percaya kepada Allah. Kita dapat menjelaskan kepada orang-orang yang tidak paham tentang Islam dengan cara yang baik. Begitulah yang aku alami, di mana aku mendapatkan bantuan dan pertolongan dari saudara, teman dan keluarga dalam Islam.

Aku menyeru kepada orang-orang yang belum percaya kepada al-Qur`an, bukalah mata kalian lebar-lebar dan bacalah al-Qur`an dengan pandangan yang terbuka. Al-Qur`an adalah sebuah alat, yang dengannya kita menjalani kehidupan melalui jalan yang benar. Islam mengajarkan perdamaian, kasih sayang dan keyakinan yang kuat kepada Allah.*   DOWNLOAD FREE MURATTAL