Assalamu'alaikum

Senin, 24 Desember 2012

“Modalku Cuma Husnuzhan dan Tawakal”



Selasa 25 Desember 2012


REZEKI, jodoh dan kematian semuanya itu rahasia Allah. Tidak ada satu pun manusia yang mengetahuinya, apalagi memprediksikan. Begitulah yang dialami Farida Aryani. Sejak 2000 silam, ibu yang dikaruniai tiga anak ini menderita penyakit kanker tiroid dan divonis tidak berumur panjang.

Namun, Sang Khalik berkata lain, hingga saat ini wanita yang biasa disapa Ida ini masih hidup normal, walaupun harus mengonsumsi obat-obatan dalam jumlah banyak.

Ida mengisahkan, kanker tiroid itu bermula dari benjolan kecil di bagian lehernya. Ida tidak terlalu mempermasalahkan, tapi lama-kelamaan benjolan itu menjadi besar dan terasa sakit. Setelah memeriksakan kepada seorang dokter di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), Jakarta, tempatnya bekerja sebagai perawat, Ida divonis positif mengidap kanker tiroid. Bagai petir di siang bolong, mendengar perkataan dokter tersebut, Ida lemas dan merasa takut aktivitasnya bakal berjalan tidak normal.

"Saya down dan selalu menangis,” kata Farida ketika ditemui Hidayatullah di rumahnya, daerah Cilebut, Bogor, Jawa Barat pertengahan November lalu.

Kesedihan Ida bertambah ketika salah satu teman dokternya ada yang mengatakan, usia Ida tidak lebih dari 5 bulan lagi. Namun, berkat dorongan dari orangtua, suami, saudara dan teman-temannya Ida mampu bangkit dari ketakutannya.

Agar virusnya tak menyebar ke bagian tubuh lainnya, tahun 2000 Ida mengambil keputusan untuk operasi pengangkatan tiroid.

“September 2000 saya operasi total. Ini dilakukan agar (kanker) tidak menyebar ke bagian tubuh lainnya,“ ujar putri dari pasangan Tatang Taryana dan Euis Cintasih ini.

Vonis Dokter

Sebagai perawat yang mengerti kesehatan, Ida tahu betul kalau operasi itu akan berdampak pada daya tahan tubuhnya. Bukan hanya itu, dokter yang mengoperasinya menganjurkan Ida agar tidak mempunyai anak. Kalaupun anak itu lahir kelak akan berdampak pada kesehatan dan perkembangan sang anak.

“Kekurangan kalsium akibat diangkatnya kelejar tiroid, maka janinnya akan cacat dan tulang-tulangnya akan lembek sehingga mudah patah,” kata Ida menirukan ucapan sang dokter.

Setelah 6 bulan pengangkatan tiroidnya, -untuk menopang kesembuhan dan menjaga agar tetap sehat- Ida diharuskan mengonsumsi obat dalam jumlah yang banyak. Jika dihitung-hitung, dalam sebulan wanita berusia 33 tahun itu bisa menghabiskan obat di atas 1.000 butir. Yang paling banyak adalah obat penambah kalsium.

Kondisi Ida saat ini juga tidak sesehat dulu, kini ia sering kejang. Tidak jarang, saat perjalanan di kereta api listrik dari Bogor menuju ke tempatnya bekerja di RSCM ia sering kejang. Tak ayal, di tahun pertama setelah operasi Ida mengaku sering merasa stres. Di saat kondisi payah itulah Ida selalu membaca beberapa surat pendek yang dihafalnya dan memperbanyak istighfar.

“Ibu dan almarhum ayah saya selalu menganjurkan agar memperbanyak baca al-Qur`an dan shalat sunnah. Ketika itu saya lakukan hati menjadi tentram, rasa sakit menjadi kurang,” kata wanita kelahiran 6 Februari 1978 ini mengenang masa-masa sulitnya.

Kanker tiroid yang bersemayam di tubuh Ida juga membuat dirinya sulit mengambil keputusan untuk menikah. Sebelumnya, ia memberikan pilihan pada calon suaminya, Ari Poncojati agar tidak menikahi dirinya. Ida tak menutup-nutupi apa yang ia alami kepada calon suaminya. Hal sekecil apa pun yang berhubungan dengan penyakitnya, ia beritahu pada calon pasangannya.

Namun, Ari, yang kini telah menjadi suaminya tetap bersikeras untuk memperistri Ida. Ari dengan lapang dada menerima keadaan calon istrinya apa adanya. Pria yang usianya tiga tahun lebih tua dari Ida itu siap menerima risiko apa pun yang terjadi.

"Sebagai manusia normal saya juga merasakan ketakutan, tapi, bismillah saja. Allah yang menentukan semuanya, istilah bahasa Jawanya, Allah boten sare (Allah tidak tidur, -red)," kata Ari.

Akhirnya, pada September 2003 mereka memutuskan untuk menghadap ke penghulu. Tidak sampai setahun pernikahan, Ida positif hamil. Mereka pun merasa was-was dengan kondisi sang jabang bayi. Syukurnya, Allah mempertemukan Ida dengan dokter yang selalu membesarkan hatinya.

Anak pertama pun lahir dengan selamat tanpa ada kelainan. Ida dan Ari tentu saja sumringah. Ucapan syukur tiada henti-hentinya mereka ucapkan.

"Waktu itu saya belum sempat memberi azan. Karena begitu lahir, dokter langsung mengecek semuanya. Alhamdulillah, baik-baik saja,” kata Ari, pria kelahiran 28 Agustus 1975.

Dengan bermodalkan selalu berprasangka baik dan tawakal kepada Allah, Ida merasa makin kuat menghadapi semua ujian yang dilaluinya. Dirinya mengaku selalu teringat sebuah ayat di dalam al-Qur`an yang menjelaskan bahwa cobaan itu diberikan Allah sesuai kemampuan hambanya.
Farida Aryani

“Modalku Cuma Husnuzhan dan Tawakal”

Sempat divonis dokter akan mati dalam waktu 5 bulan dan bila punya anak bakal cacat. Nyatanya masih hidup hingga sekarang dan anaknya juga normal.

Rejeki, jodoh dan kematian semuanya itu rahasia Allah. Tidak ada satu pun manusia yang mengetahuinya, apalagi memprediksikan. Begitulah yang dialami Farida Aryani. Sejak 2000 silam, ibu yang dikaruniai tiga anak ini menderita penyakit kanker tiroid dan divonis tidak berumur panjang.

Namun, Sang Khalik berkata lain, hingga saat ini wanita yang biasa disapa Ida ini masih hidup normal, walaupun harus mengonsumsi obat-obatan dalam jumlah banyak.

Ida mengisahkan, kanker tiroid itu bermula dari benjolan kecil di bagian lehernya. Ida tidak terlalu mempermasalahkan, tapi lama-kelamaan benjolan itu menjadi besar dan terasa sakit. Setelah memeriksakan kepada seorang dokter di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), Jakarta, tempatnya bekerja sebagai perawat, Ida divonis positif mengidap kanker tiroid.

Bagai petir di siang bolong, mendengar perkataan dokter tersebut, Ida lemas dan merasa takut aktivitasnya bakal berjalan tidak normal.

"Saya down dan selalu menangis,” kata Farida ketika ditemui Suara Hidayatullah di rumahnya, daerah Cilebut, Bogor, Jawa Barat pertengahan November lalu.

Kesedihan Ida bertambah ketika salah satu teman dokternya ada yang mengatakan, usia Ida tidak lebih dari 5 bulan lagi. Namun, berkat dorongan dari orangtua, suami, saudara dan teman-temannya Ida mampu bangkit dari ketakutannya.

Agar virusnya tak menyebar ke bagian tubuh lainnya, tahun 2000 Ida mengambil keputusan untuk operasi pengangkatan tiroid.

“September 2000 saya operasi total. Ini dilakukan agar (kanker) tidak menyebar ke bagian tubuh lainnya,“ ujar putri dari pasangan Tatang Taryana dan Euis Cintasih ini.

Vonis Dokter

Sebagai perawat yang mengerti kesehatan, Ida tahu betul kalau operasi itu akan berdampak pada daya tahan tubuhnya. Bukan hanya itu, dokter yang mengoperasinya menganjurkan Ida agar tidak mempunyai anak. Kalaupun anak itu lahir kelak akan berdampak pada kesehatan dan perkembangan sang anak.

“Kekurangan kalsium akibat diangkatnya kelejar tiroid, maka janinnya akan cacat dan tulang-tulangnya akan lembek sehingga mudah patah,” kata Ida menirukan ucapan sang dokter.

Setelah 6 bulan pengangkatan tiroidnya, -untuk menopang kesembuhan dan menjaga agar tetap sehat- Ida diharuskan mengonsumsi obat dalam jumlah yang banyak. Jika dihitung-hitung, dalam sebulan wanita berusia 33 tahun itu bisa menghabiskan obat di atas 1.000 butir. Yang paling banyak adalah obat penambah kalsium.

Kondisi Ida saat ini juga tidak sesehat dulu, kini ia sering kejang. Tidak jarang, saat perjalanan di kereta api listrik dari Bogor menuju ke tempatnya bekerja di RSCM ia sering kejang. Tak ayal, di tahun pertama setelah operasi Ida mengaku sering merasa stres. Di saat kondisi payah itulah Ida selalu membaca beberapa surat pendek yang dihafalnya dan memperbanyak istighfar.

“Ibu dan almarhum ayah saya selalu menganjurkan agar memperbanyak baca al-Qur`an dan shalat sunnah. Ketika itu saya lakukan hati menjadi tentram, rasa sakit menjadi kurang,” kata wanita kelahiran 6 Februari 1978 ini mengenang masa-masa sulitnya.

Kanker tiroid yang bersemayam di tubuh Ida juga membuat dirinya sulit mengambil keputusan untuk menikah. Sebelumnya, ia memberikan pilihan pada calon suaminya, Ari Poncojati agar tidak menikahi dirinya. Ida tak menutup-nutupi apa yang ia alami kepada calon suaminya. Hal sekecil apa pun yang berhubungan dengan penyakitnya, ia beritahu pada calon pasangannya.

Namun, Ari, yang kini telah menjadi suaminya tetap bersikeras untuk memperistri Ida. Ari dengan lapang dada menerima keadaan calon istrinya apa adanya. Pria yang usianya tiga tahun lebih tua dari Ida itu siap menerima risiko apa pun yang terjadi.

"Sebagai manusia normal saya juga merasakan ketakutan, tapi, bismillah saja. Allah yang menentukan semuanya, istilah bahasa Jawanya, Allah boten sare (Allah tidak tidur, -red)," kata Ari.

Akhirnya, pada September 2003 mereka memutuskan untuk menghadap ke penghulu. Tidak sampai setahun pernikahan, Ida positif hamil. Mereka pun merasa was-was dengan kondisi sang jabang bayi. Syukurnya, Allah mempertemukan Ida dengan dokter yang selalu membesarkan hatinya.

Anak pertama pun lahir dengan selamat tanpa ada kelainan. Ida dan Ari tentu saja sumringah. Ucapan syukur tiada henti-hentinya mereka ucapkan. "Waktu itu saya belum sempat memberi azan. Karena begitu lahir, dokter langsung mengecek semuanya. Alhamdulillah, baik-baik saja,” kata Ari, pria kelahiran 28 Agustus 1975.

Dengan bermodalkan selalu berprasangka baik dan tawakal kepada Allah, Ida merasa makin kuat menghadapi semua ujian yang dilaluinya. Dirinya mengaku selalu teringat sebuah ayat di dalam al-Qur`an yang menjelaskan bahwa cobaan itu diberikan Allah sesuai kemampuan hambanya.

Kini, Ida sudah mempunyai tiga orang anak perempuan yang lucu-lucu dan sehat: Bintang Nayla Rahma Putri (7 tahun), Bintang Aniqa Khalisa Putri (3 tahun), dan si bungsu Bintang Zhafirah Krisnaputri (4 bulan).

Khusus untuk anak bungsunya yang belum lama ini lahir, ada ‘tangan’ Allah di situ. Dokter telah memprediksi bahwa Zhafirah akan tumbuh cacat.

“Saat hamil kurang dari 6 bulan, anak saya yang ketiga ini diperkirakan bakal mempunyai ketebelakangan mental atau dikenal dengan down syndrome. Tapi, Allah berkendak lain, dia sehat saja,” ucap Ida dengan mantap. Ini bukti bahwa Allah mampu mengubah bila Dia menghendaki.

Prediksi dokter tersebut tentu berdasarkan data-data yang ada pada janin dan Ida saat itu. Berdasarkan data tersebut, ‘sunatullahnya’ anak Ida bakal cacat. Namun, Allah kemudian mengubah ‘sunatullah’ tersebut sehingga anak Ida tumbuh normal seperti sekarang. Subhanallah.

Di sisi lain, makin membaiknya kondisi Ida tak lain berkat dukungan suaminya yang tidak pernah putus asa menyemangati hidup Ida. Menurut Ida, dekat dengan Allah dan suami membuat dirinya bertambah kuat. “Suami selalu mengingatkan kalau saya malas minum obat, dia juga yang menyuruh saya untuk tidak lupa membawa obat ke tempat kerja,” katanya.

Ida juga mengonsumsi sejumlah obat-obatan herbal seperti kunyit putih di masa awal sakitnya. Setahun belakangan ini dia juga meminum habbatussauda atau jintan hitam.

“Tapi, untuk kalsium saya tetap mengonsumsi obat. Habis, saya tidak bisa tahan. Jika tidak minum itu jadi kejang-kejang,” pungkasnya.*



0 komentar:

Posting Komentar